Beradaptasi Dengan Pandangan Baru Melalui Buku “Berani Tidak Disukai”

Zulfa Khoirun Nisa
5 min readMay 3, 2021

--

Keterangan Buku:

Judul : Berani Tidak Disukai

Penulis : Ichiro Kishimi & Fumitake Koga

Penerjemah : Agnes Cynthia

Perwajahan isi : Mulyono

Perwajahan sampul : Suprianto

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit : Januari 2021 (Cetakan kedelapan)

Tebal : 323 hlm.

ISBN : 978–602–06–3321–3

Dusta kehidupan yang terbesar dari semuanya adalah tidak hidup di sini pada saat ini. Buanglah dusta kehidupanmu, dan tanpa merasa takut, arahkanlah lampu sorot yang terang benderang itu pada hidupmu di sini saat ini. Itu adalah sesuatu yang bisa kau lakukan. (hlm. 306)

Sebuah kalimat dari seorang filsuf yang manarik dari sudut pandang saya. Ya, filsuf. Dalam buku ini pemuda dan filsuf sebagai tokoh yang menemani kita dalam mempelajari pandangan baru.

Baik, kembali ke inti. Kedustaan terhadap diri sendiri semakin marak di zaman ini, ditekankan mengenai faktor hal tersebut bisa terjadi akibat masa lalu yang memunculkan trauma yang mendalam pada pelaku. Luka batin seseorang menyebabkan ketidakbahagiaannya hidup dengan banyaknya tekanan yang terjadi terus-menerus. Mungkin permasalahan tersebut selaras dengan pertanyaan mengenai, “Mengapa zaman sekarang, anak muda banyak yang mengalami depresi?”

Dalam buku ini menjelaskan dari kulit hingga sari-sari permasalahan hidup yang terjadi saat ini, salah satunya pertaanyaan diatas. Banyak sekali dari kita berbondong-bondong untuk sering membaca guna mendapatkan wawasan yang baru dan pandangan yang baru juga, namun lupa akan faktor penting yang harus kita tanamkan. Bahwa, saat kita selesai membaca suatu buku atau tulisan lainnya dapat menemukan berbagai macam nilai yang menurut hati dan pikiran kita akan mengubah kehidupan kita sekarang. Namun, nyatanya banyak kejadian permasalahan kehidupan akibat minimnya cara pandang kita terhadap watak kita itu tidak akan berubah, jika pondasi utama diri kita bengkok, semua wawasan yang ingin kita kembangkan akan sia-sia. Akibat kita tidak berani memilih gaya hidup pandangan baru.

“Apa masalahnya jika tidak berani mengambil gaya hidup baru?”

Oke, mungkin hal ini sebagai faktor utama semua kejadian saling berhubungan. Pada buku ini mengenai gaya hidup bukanlah sesuatu yang ada sejak lahir, tetapi pilihan kita sendiri. Seperti halnya masalah trauma dan depresi yang akhir-akhir ini banyak terjadi. Kemungkinan terbesar faktor utama dari kejadian itu karena kita tidak cukup berani untuk memilih gaya hidup baru atau bisa diperjelaskan lagi bahwa kita sebagai manusia yang terlahir di bumi ini tidak cukup berani untuk menjadi bahagia, dan itulah sebabnya kita tidak bahagia, sehingga selalu mengalami setiap permasalahan.

“Lho, kok begitu?”

Ya, ini salah satu pembelajaran yang saya tekankan setelah membaca buku “Berani Tidak Disukai”, beradaptasi dengan pandangan baru, salah satunya mengenai perasaan inferior yang dimiliki oleh setiap masyakarat, tidak pandang bulu. Depresi dan trauma yang terjadi secara terus menerus menjadi bayangan menakutkan menjadi tolak ukur kebahagiaan saya dan mungkin bagi orang di luar sana. Memandang bahwa kita sedari kecil secara terus-menerus dipaksa untuk belajar dengan giat guna memperoleh nilai yang terbaik sampai di tahap kerja pun dituntut untuk berperforma baik dalam perusahaan. Kompetisi yang akan terus berlangsung dalam kehidupan merupakan hal yang lumrah, karena manusia akan terus ingin meningkatkan diri atau biasa disebuat upaya superiotas, atas dasar itu-lah perasaan inferior bekerja.

“Lalu, apa hubungannya perasaan inferior dengan trauma dan depresi?”

Melihat dari ucapan Adler dalam buku Berani Tidak Disukai, bahwa sebenarnya manusia-lah yang memilih jalan untuk tidak merasakan kebahagiaan. Masih nyaman untuk berada dilingkaran traumanya dan tidak ingin lepas dari zona “nyaman” yang ia ciptakan, seperti apa yang saya jelaskan sebelumnya. Pertama kali saya menyetujui pernyataan sebuah teori tanpa mempelajari maupun bertanya pada ahlinya (dalam bidang psikologi). Memang setelah saya meninjau ulang dengan menggabungkan pernyataan Adler di atas, menyimpulkan walaupun trauma itu ada sejak kecil dan berkembang mejadi phobia, akan tetap permasalahan utamanya karena kita terlalu larut dalam zona untuk melindungi diri dengan rasa trauma itu.

Mungkin akan ada pertanyaan atau sanggahan, “Bagaimana trauma bisa melindungi diri kita? Tidak mungkin.”

Dengan adanya rasa trauma yang selalu menyelimuti diri kita, lingkungan sekitar pun akan selalu berhati-hati dengan tindakan maupun ucapan yang akan mereka lontarkan kepada kita, akhirnya kita akan menjadi pusat perhatian orang lain dan dapat melindungi diri kita dari segala hal yang menyakitkan, itulah permasalahan yang mempengaruhi pikiran kita untuk tetap berada di zona nyaman.

Hal itu membuat saya berpikir ulang bahwa memang yang kita rasakan, segala rasa takut, gelisah, maupun perasaan lainnya yang mengganggu akibat dari trauma yang pikiran kita ciptakan. Berakhir pada fase depresi, dimana akhir-akhir ini anak muda lebih tepatnya mengalami hal tersebut disebabkan banyak hal, salah satunya dalam kekalahan dalam kompitisi yang dibuat dalam segala pekerjaan. Banyak orang yang merasa tidak memilki kelebihan, mereka terus membandingkan diri dengan oraang lain, karena pikiran yang diciptakann oleh mereka hanya kekurangan yang ada pada dirinya. Melihat fenomena bahwa masyarakat selalu merasa pesimis disetiap hal, tidak adanya kepercayaan diri yang dimiliki, sampai pada tahap tertinggi, yaitu mengkhawatirkan pandangan orang lain. Atas dasar itu, mereka hanya fokus memperhatikan kekurangan, akhirnya memuncukan perasaan inferior, yaitu memandang dirinya dengan ukuran orang lain, sehingga kuatnya perasaan inferior yang tercipta dapat memandang negatif dirinya sendiri maupun setiap hal yang terjadi disekitarnya.

Menurut teori psikologi Adler, bahwa tidak ada salahnya perasaan inferior dimiliki, karena dapat menjadi sevua kunci untuk bekerja keras. Namun, bisa menjadi jurang besar jika mereka sadar bahwa sedang berada disebuah kompetisi dan akan mengalami kegagalan, mereka akhirnya setiap memandang orang di seluruh dunia menjadi rival (musuh). Padahal jika kita melihat langkah dalam perjuangan kita dengan orang lain di tempat datar, upaya superiotas akan berjalan dengan sehat, menggunakan kaki sendiri, bukan sebagai bidikan untuk mencapai tujuan tertinggi dari orang lain. Seperti kalimat yang saya sukai dari buku ini, yaitu “Apapun perbedaannya, kita setara.” Karena kita harus berani mengakui bahwa kenyataan langkah kita dengan orang lain memang tidak sama, namun kita setara. Maksudnya, pengetahuan maupun pengalaman kita dengan orang yang mempunyai hak istimewa (privilege) memang beda, namun kita setara dalam hak memperjuangkan kebahagian kita dengan menghilangkan perbandingan yang tercipta di masyarakat.

Bagaimanapun keinginan kita untuk terlahir kembali untuk dapat hidup dengan baik dan tidak merasakan trauma yang memunculkan depresi, sampai pada tahap membandingkan diri sendiri, keinginan itu harus kita ubah. Bahwa kita tidak merasakan kebahagiaan sejati karena kita sendirilah yang memilih untuk ‘menjadi tidak bahagia’.

Kita tidak bisa kembali ke masa lalu dengan mesin waktu. Selama masa lalu tetap ada sebagai masa lalu, kita hidup di konteks masa lalu. (Pemuda, hlm. 95)

Beradaptasi dengan kehidupan baru di usia muda adanya pandemic yang sudah satu tahun melanda, saya dapat mengambil banyak hal yang selalu pikiran saya ciptakan dalam membandingkan diri. Beruntungnya saya ditemui dengan buku ini sebagai pegangan kuat untuk menjalani kehidupan dengan kebahagiaan sejati. Satu kalimat terakhir dalam tuisan ini, yaitu “Maknai peristiwa masa lalu kita, itulah tugas ‘diri kita sekarang’, bukan larut dan diam akan kejadian masa lalu.”

--

--

Zulfa Khoirun Nisa
Zulfa Khoirun Nisa

No responses yet